OKI, KITOUPDATE.COM – Pemerkosaan Merupakan tindak pidana yang sangat serius, karena kejahatan ini tidak hanya merusak fisik dan mental korban, tetapi juga menghancurkan kehidupan sosial, emosional, dan psikis korban.
Oleh karena itu, Korban pemerkosaan berhak mendapatkan perlindungan hukum untuk memastikan hak-hak mereka dihormati. Perlindungan hukum ini bertujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan, serta mendukung pemulihan korban secara fisik dan mental.
Praktisi Hukum Muda, Aulia Aziz Al Haqqi.,SH.,MH. (Advokat dan Konsultan Hukum) Menjelaskan bahwa di Indonesia, pemerkosaan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS hadir untuk memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai tindak pidana kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, yang sebelumnya hanya diatur secara terbatas dalam KUHP.
“Menurut Pasal 285 KUHP, pemerkosaan adalah perbuatan seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan orang lain tanpa persetujuan, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dalam pasal ini, sanksi yang dikenakan kepada pelaku pemerkosaan dapat berupa pidana penjara paling lama 12 tahun, tergantung pada beratnya tindak pidana” ungkap Aziz. Minggu (23/02/2025).
Azizpun melanjutkan, adapun dalam UU TPKS, selain memberikan definisi yang lebih jelas tentang pemerkosaan, juga memberikan perlindungan yang lebih luas terhadap korban kekerasan seksual.
“UU ini mencakup hak-hak korban, bantuan psikososial, serta penyediaan tempat perlindungan bagi korban yang merasa terancam” jelas Azizi.
Korban pemerkosaan di Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hukum antara lain:
a. Perlindungan Fisik dan Psikologis
Korban pemerkosaan berhak untuk mendapatkan perlindungan fisik dan psikologis dari ancaman lebih lanjut. Salah satu bentuk perlindungannya adalah menempatkan korban pemerkosaan di tempat yang aman atau rumah aman, Bantuan psikologis juga sangat penting untuk membantu korban pemerkosaan pulih dari trauma yang dialami.
b. Perlindungan Hukum dalam Proses Peradilan
Selain perlindungan fisik dan psikologis, korban juga berhak mendapatkan pendampingan hukum sepanjang proses peradilan. Dalam proses penyidikan dan persidangan, korban juga dapat dilindungi kerahasiaan identitasnya guna menghindari stigma sosial yang mungkin muncul. Selain itu, ada ketentuan yang melarang penyebaran identitas korban dalam media massa atau publik, sehingga korban tidak terpapar lebih jauh terhadap dampak sosial.
c. Kompensasi dan Rehabilitasi
Korban pemerkosaan berhak mendapatkan kompensasi atau ganti rugi atas kerugian yang dialami, baik materiil maupun immateriil. UU TPKS menyebutkan bahwa korban berhak atas bantuan sosial dan bantuan medis, termasuk biaya perawatan kesehatan yang diperlukan untuk memulihkan fisik dan mentalnya. Negara atau pelaku dapat dikenakan kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada korban.
“Sedangkan Mengenai aborsi diatur di dalam Pasal 346 KUHP yang berbunyi Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun” lanjut Aziz.
Selain diatur dalam Pasal 346 KUHP, yang pada dasarnya melarang aborsi dengan ancaman pidana bagi siapapun yang melakukan.
“Namun, pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, terdapat ketentuan yang memberikan pengecualian terhadap larangan aborsi” tegas Aziz.
Pasal 75 UU Kesehatan menyatakan bahwa aborsi diperbolehkan dalam dua kondisi, yaitu:
1. Jika kehamilan membahayakan nyawa ibu:
Dalam hal ini, jika kehamilan tersebut mengancam kesehatan atau kehidupan ibu, aborsi dapat dilakukan dengan pertimbangan medis.
2. Jika janin mengalami cacat berat:
Aborsi juga dibolehkan jika janin didiagnosis dengan kelainan fisik atau mental yang parah dan tidak dapat bertahan hidup setelah lahir.
Meskipun dalam UU Kesehatan tidak secara ekspisit mencantumkan pemerkosaan sebagai salah satu alasan yang sah untuk melakukan aborsi, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi memberikan ruang lebih untuk kebijakan aborsi yang lebih fleksibel.
Pada pasal 8 ayat 3, dijelaskan bahwa aborsi dapat dilakukan dalam keadaan darurat, seperti akibat pemerkosaan, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Batasan Waktu Kehamilan:
Aborsi dapat dilakukan dalam waktu tertentu setelah pemerkosaan terjadi. Biasanya, batas waktu ini adalah 40 hari sejak kehamilan yang terdeteksi, yang dikenal dengan istilah kehamilan trimester pertama.
2. Persetujuan Korban
Aborsi harus dilakukan dengan persetujuan korban, yang seharusnya diberikan dengan pertimbangan matang dan disertai dengan konseling psikologis untuk memastikan keputusan tersebut tidak diambil dalam tekanan atau ketidakpastian.
3. Penyelidikan Medis
Untuk melakukan aborsi, perlu adanya pemeriksaan medis oleh tenaga kesehatan yang kompeten, yang memastikan bahwa kehamilan tersebut adalah akibat pemerkosaan dan bukan hasil dari hubungan seksual yang sah.
“Dengan adanya syarat dan ketentuan serta informasi tentang hukum ini, kami selaku praktisi hukum berharap masyarakat akan lebih sadar hukum, serta dapat hidup bebas dari segala permasalahan yang berkenaan hukum dalam kehidupan masyarakat” pungkas Aziz. (Hendri)